Budidaya
Udang Vannamei
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Udang vannamei merupakan udang asli
dari Pantai Pasifik Barat Amerika Latin, diperkenalkan di Tahiti pada awal
tahun 1970 untuk penelitian potensi wilayah. Kemudian pengembangan budidaya
yang intensif di Hawaii, utara - barat pantai Pasifik, pantai timur Atlantik
(South Carolina), Teluk Meksiko (Texas), Belize, Nikaragua, Kolombia,
Venezuela, dan Brazil di akhir tahun 1970–an dan sebelum 1980. Udang vannamei
diperkenalkan di Asia untuk tujuan penelitian pada tahun 1978 - 1979 dan untuk
kegiatan komersial pada tahun 1990–an. Perkenalan negara - negara Asia adalah
sebagai berikut : Daratan China, 1988; Taiwan, 1995; Vietnam, 2000; Indonesia,
2001, Thailand, 1998; Malaysia, 2001; India, 2001, Filipina, 1997; Kepulauan
Pasifik, 1972 (Briggs et al. 2004).
Di Indonesia setidaknya terdapat
sekitar 419.282 Ha tambak air payau dan sekitar 913.000 Ha lahan lainya yang
potensial untuk budidaya. Tentunya hal ini dapat menjadi faktor pendukung dan
pemicu perkembangan industri budidaya udang yang selaras dengan perkembangan
ilmu pengetahuan baik di Indonesia, Asia bahkan masyarakat dunia secara umum
(Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC), 2005).
2.1. Biologi Udang Vannamei
2.1.1. Klasifikasi Udang Vannamei
Menurut Boone (1931), klasifikasi
udang vannamei adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Arthropoda
Class : Malacostraca
Order : Decapoda
Superfamily : Penaeoidea
Family : Penaeidae
Genus : Litopenaeus
Species : Litopenaeus vannamei
2.1.2. Mofologi Udang Vannamei
Menurut Haliman dan Adijaya (2005),
menyatakan bahwa tubuh udang vannamei dibentuk oleh dua cabang (biramous) yaitu
exopodite dan endopodite. Vannamei memiliki tubuh berbuku-buku dan aktifitas
berganti kulit luar atau exoskeleton secara periodik (moulting). Bagian udang
vannamei sudah mengalami modifikasi sehingga dapat digunakan untuk keperluan
sebagai berikut :
Makan, beregerak, dan membenamkan
diri dalam lumpur (burrowing).
Menopang insang karena struktur
insang mirip bulu unggas.
Organ sensor, seperti pada antena
dan antenula.
Kepala (Chepalotorax) udang vannamei
terdiri dari antenula, antena, mandibula, dan dua pasang maxillae. Kepala udang
vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxiliped dan lima pasang kaki
jalan (periopoda). Maxiliped sudah mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai
organ untuk makan. Bentuk periopoda beruas – ruas yang berujung di bagian
Dactylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki 1, 2, dan 3) dan tanpa capit
kaki 4 dan 5.
Perut (abdomen) terdiri dari enam
ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang dan sepasang uropoda
(mirip ekor) yang berbentuk kipas bersama-sama telson.
Udang
vannamei mempunyai carapace yang transparan, sehingga warna dari perkembangan ovarium
jelas terlihat. Pada udang betina, gonad pada awal perkembangannya berwarna
keputih-putihan, berubah menjadi coklat keemasan atau hijau kecoklatan pada
saat hari pemijahan. Setelah perkawinan, induk betina akan mengeluarkan telur
yang disebut dengan pemijahan (spawning). Perkawinan lebih bersifat open
thelycum, yaitu setelah gonad mengalami matang telur (DKP Daerah Provinsi
Sulawesi Tengah, 2009).
2.1.3. Habitat dan Tingkah Laku
Menurut Briggs dkk (2006),
menyatakan bahwa udang vannamei hidup di habitat laut tropis dimana suhu air
biasanya lebih dari 20°C sepanjang tahun. Udang vannamei dewasa dan bertelur di
laut terbuka, sedangkan pada stadia postlarva udang vannamei akan bermigrasi ke
pantai sampai pada stadia juvenil.
Udang vannamei merupakan bagian dari
organisme laut. Beberapa udang laut menghabiskan siklus hidupnya di muara air
payau. Perkembangan Siklus hidup udang vannamei adalah dari pembuahan telur
berkembang menjadi naupli, mysis, post larva, juvenil, dan terakhir berkembang
menjadi udang dewasa. Udang dewasa memijah secara seksual di air laut dalam.
Udang vannamei melakukan pembuahan dengan cara memasukan sperma lebih awal ke
dalam thelycum udang betina selama memijah sampai udang jantan melakukan
moulting. Masuk ke stadia larva, dari stadia naupli sampai pada stadia juvenil
berpindah ke perairan yang lebih dangkal dimana terdapat banyak vegetasi yang
dapat berfungsi sebagai tempat pemeliharaan. Setelah mencapai remaja, mereka
kembali ke laut lepas menjadi dewasa dan siklus hidup berlanjut kembali (Clay
dan McNavin, 2002).
2.2. Persyaratan Lokasi
Menurut BPTP Sulawesi Selatan
(2008), berdasarkan kebiasaan hidup, tingkah laku dan sifat udang itu sendiri,
maka dalam memilih lokasi tambak baik dalam rangka membuat tambak baru maupun
dalam perbaikan tambak yang sudah ada, sebaiknya memenuhi persyaratan sebagai
berikut :
• Memiliki sumber air yang cukup,
baik air laut maupun air tawar dan tersedia sepanjang tahun atau setidaknya 10
bulan dalam setahun, tetapi bukan daerah banjir.
• Memiliki saluran air yang lancar,
baik untuk pengisian waktu pasang maupun membuang air waktu surut dan sumber
air serta lingkungan bebas dari pencemaran.
• Kadar garam air berkisar 10 - 25
ppm dan derajat keasaman (pH) berkisar 7 - 8,5.
• Tanah dasar tambak terdiri dari
lumpur berpasir dengan ketentuan kandungan pasirnya tidak lebih dari 20%.
2.2.1. Tata Letak
Menurut Mustafa (2008), menyatakan
bahwa tata letak suatu tambak harus memenuhi tujuan antara lain : menjamin
mobilitas operasional sehari-hari, menjamin keamanan kelancaran pasok air dan
pembuangannya, dapat menekan biaya konstruksi tanpa mengurangi fungsi teknis
dari unit tambak yang di bangun, dan mempertahankan kelestarian lingkungan.
Daerah penyangga perlu disediakan
dalam mendesain hamparan pertambakan. Daerah penyangga berupa lahan yang
berbatasan dengan laut atau sungai yang tidak digunakan untuk pemeliharaan
udang, melainkan untuk tempat tumbuhnya mangrove yang merupakan tanaman asli
daerah tersebut. Dengan adanya daerah perlindungan ini, maka angin sehingga
kerusakan pematang karena erosi yang ditimbulkan oleh angin dapat berkuran. Hal
ini juga berarti mengurangi biaya pemeliharaan pematang. Disamping itu, secara
tidak langsung perairan disekitar mangrove akan subur dan kualitas perairan
lebih dijamin kualitasnya, karena adanya kemampuan dari vegetasi mangrove untuk
mengamulasi dari bahan pencemaran.
2.2.2. Desain Petakan
Menurut Mustafa (2008), menyatakan
bahwa desain petakan tambak membutuhkan pertimbangan yang seksama agar tambak
dapat berfungsi secara efisien dan layak secara ekonomis. Tujuan daripada
desain tambak yang baik adalah mengefektifkan pengelolaan limbah, disamping
memudahkan pengelolaan air dan pemanenan udang. Secara umum, desain petakan
tambak merupakan perencanaan bentuk tambak yang meliputi : ukuran panjang dan
lebar petakan, kedalaman, ukuran pematang, ukuran saluran keliling serta ukuran
dan letak pintu air.
Untuk petakan berbentuk empat
persegi panjang, sisi terpanjangnya sebaiknya kurang dari 150 m, agar pemasukan
air dari satu sisi lain masih dapat menimbulkan arus yang cukup kuat. Selain
itu, sisi terpanjang petakan hendaknya tegak lurus terhadap arah angin. Hal ini
dimaksudkan agar angin yang bertiup tersebut tidak menimbulkan gelombang air
yang terlalu kuat. Bila sisi terpanjang petakan menjadi cukup kuat yang dapat
merusak pematang.
Luas petakan tambak yang ideal
tergantung tingkat teknologi yang diterapkan. Semakin kecil ukuran tambak
semakin mudah dalam pengelolaannya, tetapi akan lebih mahal dalam konstruksi
maupun operasional.
2.2.3. Desain Pematang
Dalam mendesain pematang yang
pertama kali diperhatikan adalah pematang harus mampu menampung ketinggian air
maksimum yang diperlukan. Jadi tinggi pematang harus didasarkan pada pasang
tertinggi air laut yang pernah ada. Selain itu kondisi pematang tidak boleh
bocor. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pematang harus mampu melindungi
areal yang dibatasinya dari tekanan air dalam segala kodisi. Berarti, pematang
harus cukup kuat, tidak mudah jebol karena tekanan air dan tidak mudah
tererosi. Perlu dipertimbangkan, kemungkinan digunakan sebagai jalan yang dapat
dilalui kendaraan roda empat. Namun perlu diingat bahwa, infrastruktur dan
jalan masuk kearah tambak tidak boleh apabila dapat mengubah aliran air alami
yang dapat menyebabkan terkurungnya air sehingga dapat mengakibatkan banjir.
Bagian-bagian pematang adalah puncak pematang, dasar pematang, berm dinding
atau lereng pematang, inti pematang, garis tengah atau sumbu pematang (Mustafa.
2008).
2.2.4. Desain Saluran
Menurut Mustafa (2008), bahwa
saluran tambak pada umumnya termasuk tipe terbuka dengan penampang berbentuk
trapesium terbalik dan airnya mengalir secara gravitasi. Namun ada kalanya
berupa saluran tipe tertutup seperti yang banyak dipakai pada tambak intensif.
Tipe tertutup biasanya dipakai untuk menyalurkan air yang dipompa dari laut.
Karena menggunakan pompa, maka debit air yang diperoleh tergantung pada
kapasitas pompa yang digunakan. Pada umumnya cara seperti ini diterapkan bila
sumber air yang ada disekitar tambak sangat kotor, sehingga terpaksa harus
mengambil air dari tengah laut yang kondisi airnya masih bersih.
Desain saluran meliputi penentuan
kemiringan saluran, lebar dasar saluraan, dan kemiringan dinding saluran.
Disamping itu perlu pula dipertimbangkan kegunaan lain, misalnya untuk
penampungan sementara udang yang akan ditebar ke petakan lain. Bila
diperuntukan tujuan ini, maka dasar saluran perlu diperdalam sekitar 0,3 m
lebih rendah dari dasar tambak.
2.2.5. Konstruksi Tambak
Konstruksi tambak harus didahului
dengan kegiatan penyusunan rencana kerja yang matang agar dicapai efisiensi dan
penggunaan dana serta daya sehingga memperoleh hasil yang maksimum. Didalam
rencana kerja harus tahapan pekerjaan yang akan dilaksanakan, pengaturan
pekerjaan, kebutuhan tenaga kerja, waktu yang diperlukan, jenis serta jumlah
alat yang diperlukan.
Menurut Galeriukm (2009), bahwa
Konstruksi tambak udang diupayakan mampu menahan air, mampu membuang air
limbah, mampu memelihara kualitas air, dan tambak dapat dikeringkan dengan
mudah dan sempurna. Tanah dasar tambak harus dalam kondisi yang sesuai untuk
kehidupan dan pertumbuhan udang. Hal ini karena sebagian besar waktu hidup dan
mencari makan udang berada di tanah dasar tambak.
2.3. Persiapan lahan
Menurut Kongkeo (1997), menyatakan
bahwa persiapan lahan adalah operasi paling penting dalam budidaya udang
intensif. Persiapan ini dapat menghilangkan gas beracun, seperti amonia,
hidrogen, sulfide, dan metana, serta pathogen didasar yang telah terakumulasi
dari budidaya sebelumnya. Kegiatan yang termasuk persiapan lahan adalah
pengeringan, pemupukan, pengapuran, pengendalian hama, pemasangan kincir,
pengisian air.
2.3.1. Pengeringan
Semua tingkat teknologi budidaya
tambak menghendaki pengeringan dasar yang sempurna, yang dapat dilakukan pada
periode musim kemarau. Pengeringan ini dimaksudkan untuk mengurangi senyawa –
senyawa asam sulfide dan senyawa beracun yang terjadi selama tambak terendam
air, memungkinkan terjadinya pertukaran udara dalam tambak sehingga proses
mineralisasi bahan organik dapat berlangsung, serta untuk membasmi hama
penyakit dan benih – benih ikan liar yang bersifat predator ataupun competitor
(BPTP Sulawesi Selatan, 2008).
2.3.2. Pengendalian Hama dan
Penyakit
Faktor lain yang menentukan
keberhasilan budidaya udang di tambak adalah keberhasilan dalam usaha
pengendalian/pemberantasan hama didalam tambak.
Dalam pemberantasan hama, pestisida
anorganik yang digunakan adalah saponin dengan dosis 20 mg/L. keuntungan jenis
racun ini karena dapat menjadi pupuk setelah daya racunnya hilang (ampasnya).
Oleh karena itu, pengendalian hama ditambak sebaiknya dilakukan dengan
mempergunakan cara mekanis dan pestisida organik (pestisida nabati). Apabila
dengan mempergunakan cara tersebut belum memberikan hasil yang diharapkan, maka
sebagai langkah terakhir barulah mempergunakan pestisida anorganik yang
memiliki residu sangat rendah (Ratnawati, 2008).
Saponin adalah glikosida, yaitu
metabolit sekunder yang banyak terdapat dialam, terdiri dari gugus gula yang
berikatan dengan aglikon atau sapogenin.Senyawa ini bersifat racun bagi
binatang berdarah dingin. Oleh karena itu dapat digunakan untuk pembasmi hama
tertentu bagi budidaya udang (Prihatman, 2001).
FAO (2006), menyatakan bahwa
ketersediaan induk SPF dan SPR menyediakan cara untuk menghindari penyakit,
meskipun prosedur biosekuriti juga penting, termasuk :
• Pengeringan dari dasar kolam
antara siklus.
• Mengurangi pertukaran air dan
penyaringan halus dari air yang masuk.
• Penggunaan jaring burung.
• Membuat pagar di sekitar kolam.
Setelah virus memasuki kolam, tidak
ada bahan kimia atau obat yang tersedia untuk mengobati infeksi, tetapi
pengelolaan air, pengelolaan pakan yang baik dan pengelolaan kesehatan yang
baik dapat mengurangi infeksi virus tersebut. Selain itu pencegahan dapat
dilakukan dengan Persiapan air yang baik, air yang masuk keseluruh sistem akan
diberi kaporit 30 ppm dan diendapkan selama 3 hari untuk menghilangkan carrier
dan partikel virus yang terbawa air (Adiwidjaya dan Erik, 2011).
2.3.3. Pengapuran
Menurut William (2009), menyatakan
bahwa keasaman tanah kolam dapat dinetralkan dan produktivitas kolam dapat
diperbaiki dengan pengapuran. Pengapuran mengacu pada aplikasi senyawa penetral
asam berbagai kalsium dan magnesium. Pengapuran kolam memiliki tiga manfaat
penting, Pengapuran dapat meningkatkan efek pemupukan, Pengapuran membantu
mencegah perubahan pH, Pengapuran juga menambahkan kalsium dan magnesium, yang
penting dalam fisiologi hewan.
a. Pengaruh pengapuran terhadap
pemupukan
Pupuk yang mengandung nitrogen,
fosfor dan kalium (terutama fosfor) merangsang pertumbuhan tanaman mikroskopis
(fitoplankton) dan hewan (zooplankton), yang pada gilirannya, menjadi makanan
bagi hewan pada rantai makanan. Dalam kolam yang digunakan untuk produksi komersial
ikan remaja, plankton adalah sumber makanan utama. fitoplankton juga menyerap
nitrogen limbah beracun dan meningkatkan konsentrasi oksigen terlarut siang
hari, sehingga mereka yang penting terhadap kualitas air. Pengapuran untuk
meningkatkan respon terhadap pemupukan. Pada tambak yang dibangun pada dasar
yang asam dan diisi dengan air segar yang memiliki kandungan mineral rendah,
sehingga diperlukan fosfor tambahan untuk digunakan pupuk menjadi terikat erat
di sedimen tambak dimana tambak tersebut tidak tersedia cukup fosfor untuk
mendukung pertumbuhan fitoplankton. pengapuran yang tepat dapat meningkatkan
ketersediaan fosfor dan meningkatkan produktivitas tambak.
b. Fluktuasi pH adalah hasil dari
interaksi fotosintesis dan respirasi. Malam hari respirasi meningkatkan
konsentrasi CO2, menciptakan asam karbonat dan menyebabkan pH turun. Pada siang
hari fitoplankton menyerap CO2 untuk fotosintesis, menyebabkan pH naik.
Perubahan pH sehari-hari dapat mengakibatkan stres pada hewan air. Sehingga
pengapuran digunakan untuk meningkatkan alkalinitas total, dan diperlukan untuk
kestabilan penyangga perairan dan mengurangi fluktuasi pada pH harian.
Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya (2010), menyatakan bahwa jika pH tanah kurang dari
6,5, maka perlu dilakukan pengapuran dengan dosis seperti pada Tabel 1,
kemudian dilanjutkan dengan pemasukan air.
Tabel 1. Dosis kapur berdasarkan pH
tanah
pH Tanah CaCO3 (Kg/Ha) Ca(OH)2
(Kg/Ha)
> 6 < 100 < 500 6 – 5 <
2000 < 1000 > 5 < 3000 < 1500 2.3.4. Pemasangan Kincir Menurut
Tapparhude, dkk. (2007), menyatakan bahwa Sirkulasi air tambak dengan aerator
adalah memiliki keuntungan tambahan aerasi karena beberapa alasan: (1) air
menggerakan oksigen di kolam dan udang dapat lebih mudah menemukan zona dengan
konsentrasi DO yang memadai, (2) tanpa gerakan konstan air baik oksigen dari
aerator, aerasi akan meningkatkan konsentrasi DO di sekitar dari aerator dan
mengurangi efisiensi transfer oksigen, dan (3) pencampuran air tambak dengan
aerator mengurangi stratifikasi vertikal temperatur dan kimia. Kincir aerator
lebih efisien dalam transfer oksigen dan sirkulasi air dari aerator jenis
lainnya. Kincir diterapkan untuk tujuan, yang tidak hanya meningkatkan tingkat
oksigen di tambak, tetapi juga menjaga wilayah makan yang bersih dan mengumpulkan
sedimen ke tengah kolam. Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tengah
(2009), menyatakan bahwa penggunaan kincir dimaksudkan untuk menambah suplai
oksigen kedalam media budidaya melalui pergerakan air yang ditimbulkan oleh
kincir tersebut. Tujuan lain peggunaan kincir adalah mengumpulkan bahan-bahan
organik seperti kotoran udang, sisa pakan serta bahan endapan lain pada sudut
yang dikehendaki agar dapat dikeluarkan dengan mudah. 2.3.5. Pengisian Air Air
merupakan media hidup udang, yang didalamnya terdapat kandungan oksigen
terlarut untuk pernafasannya, makanan dan sumber beberapa mineral bagi udang.
Oleh karena itu air yang akan digunakan untuk budidaya udang harus disiapkan
agar memenuhi standar kebutuhan tersebut (Adiwidjaya dan Erik, 2007). Menurut
BPTP Sulawesi Selatan (2008), menyatakan bahwa air dimasukkan kedalam petakan
tandon yang telah diendapkan selama ± 4 hari. Persiapan tandon dilakukan sama
dengan persiapan petak pembesaran, hanya tidak dilakukan pemupukan. Apabila
tambak tidak memakai petakan tandon, maka tambak sebaiknya diberi kaporit 5 ppm
sebelum ditebari udang dan tidak boleh ganti air sampai 1,5 bulan. Air yang
telah ditampung diberi kapur secara rutin dan dialirkan ke petak pembesaran
dengan pergantian air dipetak pembesaran sebanyak 20 - 30 % / 3 hari. Menurut
Rostamian (2007), bahwa langkah yang diambil untuk mengurangi risiko masuknya
hama dalam pengisian dan persiapan air pada tambak adalah : • Filtrasi Air
menggunakan strimin 60 mesh mengurangi risiko wabah penyakit ke tambak. •
Desinfeksi air juga dapat mengurangi risiko wabah penyakit di tempat budidaya
yang menggunakan padat penebaran tinggi. • Pemupukan mengurangi risiko wabah
penyakit pada budidaya dengan padat tebar rendah. 2.4. Penebaran Benur Menurut
Adiwidjaya dan Erik (2009), menyatakan bahwa untuk mendapatkan benur yang
berkualitas (sesuai SNI), maka pemilihan dan pemilahan benur harus dilaksanakan
dengan hati-hati, melalui prosedur yang disyaratkan. Hal ini dimaksudkan untuk
mendapatkan benih yang bebas dari berbagai kemungkinan infeksi penyakit yang
disebabkan oleh virus (SEMBV) maupun bakteri vibrio dan protozoa, yang secara
keseluruhan akan menyebabkan gangguan terhadap proses budidaya pada umumnya dan
pertumbuhan udang khususnya. Sebelum benih ditebar dilakukan aklimatisasi
terhadap suhu dan kadar garam air pengangkutan dengan air tambak. Cara yang
dilakukan adalah membuka kantong dan menambahkan air tambak kedalam kantong
sedikit demi sedikit sampai benih udang aktif berenang keluar sediri dari dalam
kantong tersebut. Aklimatisasi dilakukan dengan cara memasukan benih pada wadah
waskom atau ember ditambahkan air tambak sedikit-demi sedkit, aklimatisasi
dianggap cukup bila benih sudah aktif berenang. Arti dari aklimatisasi sendiri
adalah proses organisme individu menyesuaikan diri dengan perubahan bertahap di
lingkungannya, (seperti perubahan suhu, kelembaban, penyinaran, atau pH) yang
memungkinkan untuk mempertahankan performa di berbagai kondisi lingkungan
(en.wikipedia.org) Pada stadia PL atau benih, udang sangat peka. Walaupun
dengan persiapan kolam yang sangat baik, benih udang dapat mati saat ditebar
jika tidak sehat, bila waktu penebaran tidak ideal, atau bila kualitas air saat
pengangkutan sangat berbeda dengan kualitas air kolam. Padat tebar untuk tambak
intensif seharusnya 60 - 300 ekor/m2. Baliao dan Siri (2002), menyatakan bahwa
waktu membeli benih, pastikan bahwa benih tersebut berkualitas prima dengan
sifat - sifat karakteristik sebagai berikut : a. Berenang melawan arus bila air
di baskom diaduk dan bereaksi pada penepukan air dan bayangan yang lewat b.
Berenang secara horisontal dan tidak vertikal seperti seakan-akan kehabisan
nafas c. Bertubuh lurus d. Berukuran seragam e. Berukuran panjang paling
sedikit 12 mm pada stadia PL18 f. Mempunyai otot-otot perut yang jernih g.
Memiliki lambung penuh h. Memiliki rasio 1 : 4 antara lambung dan otot Menurut
BPTP Sulawesi Selatan (2008), bahwa Pl 11 - 17, tokolan udang lebih toleran
terhadap fluktuasi salinitas yang lebar sehingga membutuhkan waktu yang singkat
dalam proses aklimatisasi. Penebaran sebaiknya dilakukan pada waktu suhu udara
dingin yaitu pada jam 06.00 – 08.00 pagi atau jam 17.00 sore - 22.00 malam.
Hindari penebaran benur yang terkumpul disatu tempat. Benur ditebar setelah air
tidak berbau kaporit dan air sudah berwarna coklat muda. 2.5. Pengelolaan Pakan
Baliao dan Siri (2002), bahwa biaya pakan merupakan 40 - 50% dari total biaya
produksi operasi budidaya udang intensif, disarankan menggunakan pakan
berkualitas baik (dengan kandungan protein yang stabil). Guna memperoleh
pengelolaan pakan dan pemberian pakan yang efisien, jumlah benih udang di
kolam, derajat pertumbuhan dan rasio konversi pakan (FCR) harus dimonitor
setiap hari. Menurut Baliao dan Siri (2002), faktor-faktor yang mempengaruhi
pemberian pakan : 1. Suhu Pertahankan agar suhu air antara 26 - 33 oC. Pada
suhu dibawah 25 oC dan diatas 34 oC, udang tidak makan dengan baik. 2. Oksigen
terlarut Pertahankan tingkat oksigen terlarut diatas 4 ppm. Bila kandungan
oksigen terlarut berkurang menjadi dibawah 4 ppm, jumlah pakan harus dikurangi.
3. Penyakit Udang yang terinfeksi penyakit tidak akan makan dengan baik atau
malah berhenti makan. 4. Pergantian kulit Pergantian kulit adalah proses biasa
saat udang tumbuh. Bila pergantian kulit ini terjadi sacara massal, kurangi
jumlah pakan sebesar 25 %. Setelah 2 - 3 hari kemudian, kembalikan ke jumlah
pakan seperti semula. 5. Kematian plankton Kondisi kolam yang disebabkan tidak
adanya plankton sangat membuat udang stress. Udang tidak makan bila air kolam
jernih. 2.5.1. Bentuk Pakan Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
(2010), bahwa bentuk dan ukuran pakan udang disesuaikan dengan tingkatan atau
umur udang yang akan diberikan. Selain itu pakan yang akan diberikan kepada
udang memiliki warna dan ukuran yang seragam, permukaan pakan atau pelet halus,
tidak berjamur, kering tidak berbongkah atau basah. Berikut ini merupakan
kebutuhan ukuran pakan untuk ukuran udang yang berbeda. Tabel 2. Ukuran Udang
serta Diameter Pelet yang Direkomendasikan Ukuran Udang (gr) Diameter Pellet
0,002 – 0,02 400 – 600 µm 0,02 – 0,08 600 – 850 µm 0,08 – 0,25 850 – 1200 µm
0,25 – 1,0 1,2 – 1,8 mm 1,0 – 2,5 2,4 mm > 2,5 3,2 mm
Sumber: Van Wyk, 2006.
2.5.2. Dosis Pakan
Menurut Muhariyanto (2001),
menyatakan bahwa takaran pakan yang diberikan kepada udang relatif akan
berkurang sejalan dengan bertambah besarnya ukuran udang. Selama bulan pertama
takaran awal yang diberikan ditetepkan sebanyak 1 kg per 100.000 ekor benur (PL
12 – 15) yang kemudian ditambah 200 – 300 gr tiap minggunya sesuai dengan
perkiraan udang yang hidup (sintasan). Takaran awal pakan yang diberikan adalah
6,8 % dari berat badan/hari dan akan diturunkan secara bertahap sehingga pada
saat udang ukuran panen (30 gr), jumlah pakan yang diberikan adalah antara 2,5
– 3 % dari berat badan/hari.
2.5.3. Cara Pemberian
Menurut Ghufran (2010), bahwa syarat
terpenuhinya pemberian pakan yang baik adalah merata, yaitu diusahakan agar
satu individu udang memperoleh bagian yang sama dengan individu yang lainya,
sehingga diharapkan pertumbuhan udang budidaya akan seragam. Untuk itu
pemberian pakan harus disesuaikan dengan sifat biologis udang. Cara pemberian
pakan yang merata dapat menghindari terjadinya kompetisi dalam mendapatkan
makanan. Apabila kompetisi dapat dihindari, maka sifat kanibalisme akan semakin
dapat dikendalikan. Keadaan kompetitif akan semakin tajam dan mencolok apabila
ukuran udang sangat bervariasi.
2.5.4. Frekuensi Pemberian
Umumnya frekuensi pemberian pakan
udang dalam sistem budidaya sistem semi intensif dan intensif mencapai 4 – 6
kali sehari. Semakin sering pemberian pakan akan memberi peluang yang lebih
besar kepada udang untuk makan setiap saat, sehingga kebutuhan pakan akan
selalu terpenuhi. Frekuensi pemberian pakan yang lebih sering dengan jumlah
pakan perharinya tetap, maka tiap kali pakan yang diberikan menjadi sedikit.
Dengan cara ini pakan tidak tertumpuk pada suatu waktu saja tetapi merata
sepanjang hari. Selain itu cara ini sangat menguntungkan karena dasar tambak
akan terhindar dari proses pengotoran akibat pembusukan sisa pakan (Ghufran,
2010).
2.6. Pengelolaan Kualitas Air
Amri dan Iskandar (2008), menyatakan
bahwa sebagai organisme hidup dan berkembang di dalam air, kelangsungan hidup
udang vanname dari saat ditebar sampai dipanen sangat dipengaruhi oleh kualitas
air tempat udang tersebut dibudidayakan. Itu sebabnya, untuk menghindari
kegagalan dalam budidaya udang vanname, pengelolaan kualitas air secara baik
dan benar menjadi prioritas utama.
Menurut Baliao dan Siri (2002), bahwa
air yang akan ditebari udang harus mempunyai kualitas sifat fisika dan kimia
sebagai berikut :
§
Oksigen terlarut : > 4 ppm
§
Ammonia : < 0,1 ppm §
Salinitas : 25 - 30 ppt §
pH : 7,5 - 8,5 §
Suhu : 28 - 32 OC §
Alkalinitas : > 80 ppm
§
Kecerahan : 35 - 45 cm
§
Warna air : hijau kecoklatan
2.6.1. Pergantian Air
Pergantian air dilakukan bila telah
terjadi penurunan parameter kualitas air tambak. Secara visual dapat dilihat
dari perubahan warna air menjadi jernih dan terdapat suspensi dalam air akibat
kematian plankton. Perubahan ini juga ditandai banyaknya buih relatif besar
(lebih dari 2 cm) dan tidak pecah pada jarak 6 m dari kincir. Sedangkan
indikasi kimiawi terlihat dari kandungan bahan organik yang tinggi (lebih dari
60 ppm) dan BOD yang lebih dari 10 ppm. Tanda-tanda penurunan kualitas air
terlihat dari :
a. Nafsu makan menurun (sisa pakan
di anco > 20 % dari normal).
b. Populasi total bakteri > 106
CFU/ ml.
c. Populasi Total Vibrio > 103
CFU/ ml.
d. Ekor udang banyak yang berwarna
merah (red discoloration).
e. Banyak partikel plankton mati di
kolom air.
Proses pergantian air dilakukan
dengan cermat sehingga tidak terjadi perubahan kualitas air secara mendadak
atau dratis terutama perubahan salinitas. Hal ini untuk mengurangi stress pada
udang. Perubahan salinitas air tambak akibat pergantian air tidak boleh
melebihi 3 ppt per hari. Untuk menghindari perubahan salinitas yang drastis
pada saat terjadi hujan dengan cara menghidupkan kincir yang digunakan sebagai
pengaduk (BBPBAP Jepara. 2007).
2.6.2. Aplikasi Probiotik
Probiotik sebagai agen pengurai
(bioremediation) merupakan kelompok mikroorganisme terpilih yang menguntungkan
seperti Nitrosomonas, Cellumonas, Bacillus subtilis dan Nitrobacter. Dalam
aplikasinya di dunia perikanan, probiotik sebagai agen pengurai dapat digunakan
baik secara langsung dengan ditebarkan ke air atau melalui perantaraan makanan
hidup (live food). Jadi melalui penambahan bakteri yang menguntungkan ke kolam
atau bak pemeliharaan kualitas air dapat ditingkatkan. Menggunakan probiotik
yang mengandung Bacillus sp. untuk tambak udang penaeid di Indonesia dengan
tujuan untuk memperbaiki kualitas air melalui dekomposisi materi organik,
menyeimbangkan komunitas mikroba serta menekan pertumbuhan patogen sehingga
menyediakan lingkungan yang lebih baik bagi kehidupan udang. Melalui penggunaan
probiotik selama 160 hari pemeliharaan ternyata kehidupan udang lebih baik
sehingga dapat diperoleh panen lebih tinggi, sedangkan tambak yang tanpa
aplikasi probiotik Bacillus sp. mengalami kegagalan karena serangan Vibrio
luminesence. Di samping mikroorganisme dari golongan bakteri, ternyata beberapa
jenis mikroorganisme dari golongan yeast dan mikro algae juga dapat digunakan
sebagai bahan probiotik dalam akuakultur (Wannasuria, 2010).
Menurut Amri dan Iskandar (2008),
bahwa aplikasi probiotik dapat dilakukan melalui oral (dicampur pakan) dan
lingkungan (air dan dasar tambak). Aplikasi probiotik melalui lingkungan
bertujuan untuk memperbaiki kondisi lingkungan (menguraikan bahan organik, menyerap/menetralkan
senyawa beracun seperti ammonia, nitrit, dan asam sulfida), menstabilkan
plankton (menghasilkan senyawa anorganik yang diperlukan plankton) dan menekan
bakteri yang merugikan.
Menurut Wannasuria (2010), bahwa
peranan probiotik dalam budidaya akuakultur adalah :
1. Menekan populasi mikroba yang
bersifat merugikan yang berada dalam saluran pencernaan dengan cara
berkompetisi untuk menempati ruang (tempat menempel) dan kesempatan mendapatkan
nutrisi,
2. Menghasilkan senyawa anti mikroba
yang secara langsung akan menekan pertumbuhan mikroba pathogen dan mencegah
terbentuknya kolonisasi mikroba merugikan dalam sistem pencernaan hewan inang.
3. Menghasilkan senyawa yang
bersifat imunostimulan yaitu meningkatkan sistem imun ikan (hewan inang) dalam
menghadapi serangan penyakit dengan cara meningkatkan kadar antibodi dan
aktivitas makrofag, misalnya lipo polisakarida, glikan dan peptidoglikan.
Mikroorganisme probiotik asam laktat yang diberikan secara oral pada hewan
berdarah panas dapat memicu peningkatan resistensi terhadap infeksi enterik.
Tetapi sampai saat ini masih belum jelas apakah bakteri yang digunakan sebagai
probiotik dapat memberikan efek menguntungkan terhadap respon imun bagi hewan
inang.
4. Menghasilkan senyawa vitamin yang
bermanfaat bagi hewan inang (yang diberikan probiotik) dan secara tidak
langsung akan menaikkan nilai nutrisi pakan.
2.7. Monitoring Pertumbuhan
Kegiatan monitoring pertumbuhan
udang vannamei selama masa pemeliharaan dilakukan untuk mengetahui kesehatan
udang, pertambahan berat harian (ADG), tingkat kelangsungan hidup atau survival
Rate (SR), dan berat biomass. Pengamatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan
metode anco. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (2010), bahwa
pengamatan di anco dilakukan untuk melihat populasi dan kesehatan setiap saat,
Ciri-ciri udang sehat adalah :
• Gerakan aktif, berenang normal dan
melompat bila anco di angkat
• Respon positif terhadap arus,
cahaya, bayangan dan sentuhan
• Tubuh bersih, licin, berwarna
cerah, belang putih yang jelas
• Tubuh tidak keropos, anggota tubuh
lengkap
• Kotoran tidak mengapung
• Ujung ekor tidak geripis
• Ekor dan kaki jalan tidak
menguncup
• Insang jernih atau putih serta
bersih
• Kondisi usus penuh, tidak
terputus-putus Pencegahan Penyakit
Menurut BBPBAP Jepara (2011), bahwa
sampling pertumbuhan dimaksudkan untuk memperoleh data tentang kondisi
kesehatan udang, populasi, berat individu (gr), rerata pertumbuhan harian (gr),
estimasi total biomass (kg), mengetahui variasi ukuran dan selanjutnya dapat
digunakan sebagai acuan perhitungan jumlah pakan/hari. Masing-masing dapat
dihitung dengan rumus seperti berikut :
a. Mean Body Weight (MBW)
MBW = Berat udang + wadah – berat
wadah
Jumlah Udang
b. Average Daily Growth (ADG)
ADG = MBWn - MBWo
t
c. Survival Rate (Sintasan)
Biomasa (kg) = Jumlah Tebar x SR x
MBW
100
Populasi (ekor) = Biomasa x 1000
MBW
Sintasan (%) = Populasi x 100
Jumlah Tebar
2.8. Pengendalian Hama dan Penyakit
Menurut FAO (2006), bahwa beberapa
macam hama yang mengganggu tambak udang, baik yang merupakan hama langsung
maupun hama yang tidak langsung adalah :
1. Hama pengganggu
Kepiting, udang penggali
(Thalassina), kerang-kerangan, jamur.
2. Hama penyaing
Bekicot, ikan, kepiting, udang.
3. Hama predator
Ikan, kepiting, burung, manusia,
serangga, ular, berang-berang, kadal.
Jenis penyakit yang dapat menyerang
pada udang, yaitu penyakit viral (penyakit yang disebabkan oleh virus) dan
bakterial (penyakit yang disebabkan oleh bakteri) (BBPBAP, 2008).
1. Penyakit Viral, pada dekade terakhir
penyakit viral telah mengakibatkan kerugian yang cukup besar di kalangan
pengusaha. Penyebaran penyakit terjadi secara cepat dan melanda satu kawasan
dalam waktu sangat singkat. Ada sekitar 5 jenis penyakit viral yang telah
dideteksi yaitu IHHNV (Infectious Hypodermal and Hematopoitic Necrosis Virus),
HPV (Hepatopancreatic Parvolike Virus), MBV (Monodon Baculavirus), SEMBV
(Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus), YHV (Yellow Head Virus).
Tidak ada jenis antibiotik dan kemoterapi lain yang dapat digunakan untuk
pengobatan penyakit viral. Pencegahan lebih efektif untuk pengendalian penyakit
viral.
2. Penyakit Bakterial, beberapa
jenis penyakit bakterial yang dijumpai menyerang udang di diantaranya adalah
penyakit insang hitam, penyakit ekor geripis, kaki putus, bercak hitam, kulit
dan otot hitam (black splincter disease). Bakteri Vibrio Sp. Seperti Vibrio
Alginolyticus, V. Parahaemolyticus, dan V. Anguillanum merupakan bakteri yang
erat kaitannya dengan penyakit tersebut. Peningkatan virulensi patogen
diperkuat dengan jeleknya manajemen kualitas air, yang tidak jarang menimbulkan
kematian udang.
Pencegahan adalah perlakuan yang
baik dari pada melakukan pengendalian penyakit yang sudah menyerang udang.
Adapun pencegahan yang dilakukan pada budidaya udang yaitu :
1. Pengelolaan awal media pembesaran
udang Vannamei dengan baik dan terkontrol.
2. Menerapkan Biosecurity pada
tambak.
3. Pemberian material agar kualitas
media tetap terjaga.
2.9. Panen dan Pasca Panen
Menurut Amri dan Iskandar (2008), bahwa
pemanenan dilaksanakan setelah udang mencapai umur lebih kurang 100 hari
pemeliharaan ditambak, atau tergantung laju pertumbuhan udang. Apabila berat
rata-rata (ABW) telah mencapai umur standart permintaan pasar (ukuran 60 – 80
atau 60 – 80 ekor/kg) maka panen dapat dilaksanakan walaupun masa pemeliharaan
belum mencapai 100 hari. Berikut ini adalah beberapa alasan udang vannamei
harus dipanen :
1. Udang sudah saatnya dipanen
sehingga bila tetap dipertahankan, pertumbuhan udang tidak optimal lagi, bahkan
tidak tumbuh lagi.
2. Udang terserang penyakit dan
telah menunjukkan gejala kematian, jika terpaksa dipanen untuk menghindari
kerugian yang lebih besar.
3. Kondisi darurat yang mengharuskan
udang dipanen.
Proses pemanenan dilaksanakan pada
kondisi suhu rendah, atau dimulai dari malam sampai dini/pagi hari, untuk
mencegah hal – hal yang tidak diinginkan, seperti buruknya kualitas udang
akibat panas matahari langsung pada suhu tinggi (28 OC – 32,2 OC) kesegaran
udang cepat menurun. Namun, jika penanganan dilakukan dengan benar, kesegaran
udang dapat bertahan sampai lebih kurang 1 minggu. Oleh karena itu, penanganan
udang hasil panen harus dipertahankan pada suhu rendah (0 OC – 5 OC) dengan
cara menambahkan hancuran es (es curah) di setiap tahapan penanganan.
Menurut BPTP Sulawesi Selatan
(2008), bahwa setelah pemanenan selesai, maka hasil panen harus ditangani
secepatnya agar kualitas dan kesegaran udang atau ikan tetap baik hingga ke
pasar atau konsumen.
Penanganan udang hasil panen harus
dilakukan dengan cepat karena kualitas udang cepat menurun setelah dipanen.
Keterlambatan dalam penanganan udang mengakibatkan udang tidak dapat diterima
dipasaran sebagai komoditas ekspor. Cara penanganan udang adalah :
• Udang hasil panen disortir sesuai
ukuran dan dipisahkan.
• Udang dibersihkan dan masukkan
dalam keranjang plastik tersebut diletakkan pada tempat yang dialiri air.
• Udang dicuci dengan air es dengan
cara mencelupkan keranjang berisi udang kedalam air es beberapa kali.
• Udang ditiriskan
• Untuk mempertahankan kesegaran
udang, es batu yang digunakan dengan perbandingan 1 kg es untuk 1 kg udang
Bermanfaat Sekali Info Artikelnya Terimakasih,
BalasHapusSalam Kenal Kami Distributor Plastik Tambak
Menyediakan : Plastik Mulsa, UV, LLDPE, HDPE
Untuk Tambak Udang
Dengan Spesifikasi Sebagai Berikut :
Plastik Mulsa / Roll
250m x 3m x 50micron
200m x 3m x 80micron
100m x 3m x 150micron
Plastik Mulsa Super Lebar / Roll
300m x 4,5m x 50micron
Plastik LLDPE Geomembran / Roll
50m x 4m x 200micron
50m x 4m x 300micron
Plastik HDPE Geomembran / Roll
100m x 4m x 300micron
Info Harga & Promo di
http://www.plastiksupermulsa.ga/
085 643 200 256 (IM3) Telp/SMS/WA
082 242 960 056 (Sim) Telp/SMS
7DCE9936 (Pin BB)
Pak Doni Super Mulsa
Mohon ijin admin , numpang iklan promosi yaa...
BalasHapusKami menjual aneka Kapur :
- Kapur Aktif / Cao / Kalsium Oksida.
- Kapur Padam / CaOH2 / Kalsium Hidroksida.
- Kapur Tepung / CaCo3 /Kalsium Karbonat / Kapur pertanian /Kaptan .
- Zeolite .
- Bentonite .
- Dolomite dll.
Untuk informasi lebih lanjut Silahkan hubungi :
Bpk Asep 081281774186
085793333234
Simpan nomor dan hubungi jika sewaktu-waktu membutuhkan.
Terimakasih Admin, Artikel ini sangat bermanfaat.
BalasHapusSekalian Mohon ijin ya numpang iklan promosi :
Kami menjual aneka Kapur :
- Kapur Aktif / Kapur Bakar / Cao / Kalsium Oksida.
- Kapur Padam / CaOH2 / Kalsium Hidroksida.
- Kapur Tepung / CaCo3 /Kalsium Karbonat / Kapur pertanian / Kaptan .
- Zeolite .
- Bentonite .
- Dolomite dll.
Untuk informasi lebih lanjut Silahkan hubungi :
Bpk Asep 081281774186
085793333234
Simpan nomor dan hubungi jika sewaktu-waktu membutuhkan.